Tidak ada yang lebih merusak pemahaman kita mengenai pendamaian Kristus daripada perasaan halus yang kadang-kadang menganggap Kekristenan untuk zaman kita (berupaya untuk membuat Injil sesuai dengan pemikiran modern).
Bagaimanapun juga, kita harus dengan rendah hati menyatakan bahwa apapun yang kita katakan mengenai Allah tidak pernah dapat melakukan keadilan Allah, terutama ketika kita memikirkan pendamaian. Kita harus menghindari pencobaan untuk menganggap kematian Yesus di salib hanya sebagai “contoh kasih yang tidak mementingkan diri sendiri” saja. Memang benar, tetapi perhatikan juga keadaan kita sebagai orang berdosa, itu pasti lebih daripada “sebuah contoh kasih yang tidak mementingkan diri sendiri” untuk menebus kita.
Allah kita menanggungkan pada diri-Nya sendiri pukulan terberat dari murkan-Nya terhadap dosa.
Di atas salib, Yesus menanggis: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Matius 27:46). Bagaimanakah kita memahami hal ini? Apakah yang Yesus katakan, mengapa, dan bagaimanakah tangisan ajaib ini menolong kita memahami harga yang harus dibayar untuk menyelamatkan kita dari dosa?
Matius 27:46
Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?
“Dan sekarang Tuhan kemuliaan menghadapi maut, suatu tebusan bagi umat manusia…Di atas Kristus sebagai penganti dan pengaku kita terletaklah kejahatan kita semuanya. Ia disebut seorang pelanggar, agar dapatlah Ia menebus kita dari tuntutan hokum… Ia kwawatir jangan-jangan dosa sangat mengerikan pada pemandangan Allah sehingga perpisahan mereka akan kekal…Perasaan akan dosa, yang membawa murka Bapa ke atas-Nya sebagai penganti manusia, itulah yang menjadikan cawan yang diminum-Nya sangat pahit, dan menghancurkan hati Anak Allah”. – Ellen White, Alfa dan Omega, jilid 6, hlm. 404, 405.
Yesus menyampaikan doa ini kepada “Allah” gantinya kepada “Bapa”, sebagaimana Dia biasanya telah lakukan. Tangisan Kristus dari salib bukan hanya sekedar satu contoh untuk menunjukan bahwa Dia mengasihi kita. Tidak, ini adalah Allah yang sedang menyerahkan diri-Nya kepada maut sehingga nasip kita tidak ditentukan oleh kematian. Ini adalah Allah sendiri yang mengalami kematian sehingga kita dapat dibebaskan dari kematian yang akan merenggut jiwa kita semua.
Tiga kitab Injil mencatat bahwa Yesus menangis dengan suara yang keras dari atas salib ketika Dia mati.
Tangisan keras ini bahkan disebutkan di dalam kitab Ibrani: “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan”. (Ibrani 5:7). Tangisan Yesus “karena merasa ditinggalkan” ini adalah tangisan yang sangat menusuk dalam Alkitab. Di seluruh kitab Injil, tidak ada pernyataan yang menyamai tangisan Yesus di atas salib, dan di dalam tangisan itu kita menemukan sekilas tentang apa yang Tuhan ingin lakukan untuk menyelamatkan kita.
Terimakasih Yesus...
BalasHapus